Borobudur Writers and Cultural Festival tahun 2015 mengangkat
tema menarik yakni, “Gunung, Bencana, dan Mitos di Nisantara” dimana penduduk
Indonesia beberapa daerahnya menempati cincin api paling aktif di dunia yang
letaknya di kedalaman bawah tanah, di daratan berupa kepulauan yang terpisah
satu sama lain. Kepulauan ini dilingkari Cincin Api Pasifik yang teraktif di
dunia dan dibelit jalur berapi teraktif kedua yaitu, Sabuk Alpide. Ditambah
secara geografis ditumbuk oleh lempeng Indonesia – Australia dari selatan,
Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur.
Ancaman alam berbahaya menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupan manusia di Indonesia. letusan yang ditimbulkan tentu akan berdampak
pada segala aspek kehidupan di sekitar gunung, namun juga bisa berdampak pada
negara lain. Seperti saat letusan gunung Tambora dan Toba yang mengakibatkan
beberapa kerajaan pada zamannya musnah. Akibat letusan yang dahsyat tersebut
juga mengakibatkan terjadinya the dark
era, yakni peristiwa selama tiga tahun langit gelap dan selama dua tahun
tidak ada musim panas di Eropa. Akibatnya semua panen gagal dan kelaparan merajalela
di mana-mana karena kekurangan pasokan makanan. Faktor ini juga yang mengakibatkan
Napoleon Bona Parte kalah karena tidak adanya pasokan bahan pangan yang
mengakibatkan kelaparan berkepanjangan dan meninggal. Kisah tersebut juga
diceritakan secara lengkap mengenai Ekspedisi di Indonesia yang membahas Cincin
Api ada dalam buku perjalanan berjudul “Ring Of Fire” (Indonesia dalam
Lingkaran Api) karya Antropolog Lawrance Blair dan Lorne Blair asal Inggris.
Tema yang dibahas saling berkaitan erat, dimana gunung berapi
jika meletus menimbulkan bencana, dan melahirkan mitos-mitos yang beredar di
masyarakat. Hingga saat ini kisah mengenai gunung selalu menarik untuk dibahas
karena menyangkut berbagai aspek penting dalam kehidupan. Dan uniknya, setiap
gunung pasti mempunyai cara penghormatan yang berbeda-beda maknanya di setiap
daerah, bisa berarti ungkapan rasa takut, ungkapan syukur atau terima kasih, bisa
juga pemujaan karena menganggap bahwa gunung adalah tempat bersemayamnya para
dewa-dewa. Bentuk penghormatan pada umumnya berwujud sebuah kesenian
(tari-tarian, pentas budaya), ritual, candi, batuan menhir, mitos, hikayat, dan
legenda yang beredar di kalangan masyarakat. Hal tersebut membuktikan bahwa
gunung sangat berpengaruh pada perspektif spiritual peradaban di manusia nusantara.
Borobudur Writers and Cultural Festival 2015
adalah sebuah festival yang diciptakan menjadi wahana perayaan karya-karya
untuk membahas mengenai budaya dengan tujuan membuka diri terhadap segala
kemungkinan keragaman identitas dan segala manifestasi ekspresif di masa lalu
dan sekarang. Acara yang diadakan selama tiga hari yakni, 12-14 November 2015
meliputi peluncuran buku, berbagai seminar yang membahas mengenai ledakan
gunung, pemutaran film, berbagai pertunjukan tari-tarian hingga penyerahan
Sanghyang Kamahayanikan Award serta pembacaaan syair sebagai penutup acara.
Pentas tarian kolaborasi dengan judul “problematika alam, insan,dan zaman” oleh Komunitas lima gunung yakni, Nungki Nurcahyani, Sutanto Mendut, Wukir Suryadi, Seniman Australia dan India sangat memukau perhatian di pembukaan acara, kostum yang unik dengan menggunakan wardrobe serba putih dan sesajen yang lengkap bak tradisi ritual mengundang antusiasme penonton, hingga dilepasnya seekor ayam di sangkar yang menjadi simbolisasi dibukanya acara Borobudur Writer and cultural Festival di Manohara Hotel the centere of Borobudur studies.
Foto Tarian Zaman saat Opening acara BWCF
Pada acara
penutupan atau closing Ceremony, Borobudur writers and cultural festival memberikan
penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award yakni, penghargaan pada seseorang
yang berjasa dalam penemuan situs- situs sejarah di seluruh Indonesia. Tahun
2015 penghargaan tersebut diberikan pada Nigel Bullogh (64 tahun) yang begitu
cintanya Nigel Bullogh terhadap sejarah nusantara hingga mengganti namanya
menjadi Hadi Sidomulyo, kecintaan dan dedikasi pria asal Inggris yang sejak
1971 sudah mulai meneliti masa silam nusantara, menghabiskan waktu
bertahun-tahun dalam hidupnya untuk menelusuri lokasi-lokasi yang tercantum
dalam Nagarakaertagama dan mendata candi-candi yang tertanam di lereng-lereng
Gunung Penanggungan
Closing Ceremony di Pelataran Hotel Magelang
(Ayo Rek daftro acara iki, nek ora tak tembak)
See you BWCF 2016
Hai kak, saya avika, mahasiswi DPP UGM. Saya mau tanya, selama rangkaian acara BWCF, apakah akomodasi peserta ditanggung oleh panitia atau tidak dan berapa biaya pendaftarannya? Terimakasih
BalasHapusHalo Avika, Akomodasi peserta domisili Jogja hanya disediakan Bus yang berangkat dari terminal Jombor ke Magelang, kalo domisili luar Jogja disediakan penginapan di sekitar lokasi acara. Peserta mendapatkan konsumsi selama acara berlangsung dan tidak dipungut biaya (free). daftar aja kalo pengen vik http://www.borobudurwriters.com/registrasi-form/
BalasHapusOh gitu, kalau misal saya mau berangkat sendiri lgsg cus ke hotel tempat seminar aja bisa ya kak? Thanks for the inform yaa :))
BalasHapusBisa aja saya juga langsung cus ke venue yang penting daftar dulu dan tunggu konfirmasi dari pihak panitia, Sama-sama :)
BalasHapus